Anda sebagai pebisnis pasti akan merasa rugi kalau mendapati ada banyak konsumen yang memasukkan produk ke keranjang belanja, namun tidak melakukan pembayaran, kan?
Anda sebagai pebisnis pasti akan merasa rugi kalau mendapati ada banyak konsumen yang memasukkan produk ke keranjang belanja, namun tidak melakukan pembayaran, kan?
Berdasarkan hasil penelitian Baymard Institute yang ditayangkan di situs Shopify, ada 70,19% keranjang belanja online yang ditinggalkan pemiliknya.
Artinya, dari setiap 100 konsumen yang mengunjungi situs atau toko online Anda, ada sekitar 70 orang di antaranya merupakan pelanggan potensial.
Bisa dibayangkan tidak, berapa keuntungan yang bisa Anda dapatkan kalau mampu mendorong 70 orang tersebut melakukan pembayaran dan menyelesaikan transaksi mereka?
Jadi, apa yang bisa Anda lakukan untuk memperkecil angka cart abandonment (pembatalan pembelian)?
Salah satu caranya, Anda bisa menggunakan metode A/B testing. Asalkan benar penerapannya, Anda bisa mencari tahu faktor penyebab konsumen tidak jadi melakukan pembelian.
Selain itu, Anda juga jadi tahu tentang variasi produk, tampilan halaman pembayaran, hingga cara menyusun informasi di halaman tersebut. Yuk, baca penjelasan lengkap cara menerapkannya di artikel Redcomm Knowledge ini.
Langkah pertama yang biasa dilakukan oleh tim digital marketing agency Indonesia, seperti Redcomm, adalah melakukan pengumpulan data sebelum menjalankan metode A/B testing.
Data apa yang biasa kami kumpulkan? Ya tentu saja data terkini terkait performa website bisnis atau kampanye yang sedang diselenggarakan.
Anda bisa menggunakan berbagai alat analitik untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, seperti Google Analytics, Google Search Console, Hotjar, atau lainnya, untuk melihat matriks konversi, waktu tayang, dan rasio klik.
Bahkan Anda bisa menggunakan bantuan tools Convertize’s AB Test Significance Calculator yang memungkinkan Anda memasukkan data dan variabel tingkat konversi yang diinginkan.
Nantinya seluruh data yang berhasil Anda kumpulkan tersebut dapat membantu proses analisis data dan memudahkan Anda mengidentifikasi titik lemah yang perlu diperbaiki dan area yang dapat Anda optimalkan.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya Anda perlu menentukan tujuan pengujian. Apakah ingin meningkatkan Click Through Rate (CTR), konversi, atau engagement?
Contoh, Anda ingin menaikkan nilai konversi dengan menguji dua tampilan landing page, maka Anda cukup memperhatikan bagian konversi saja. Abaikan matriks lain, seperti angka bounce rate, besarnya traffic, dan sebagainya.
Menentukan tujuan yang spesifik akan memudahkan Anda untuk memastikan setiap elemen yang mau diuji memiliki dampak langsung pada kinerja kampanye.
Tahap selanjutnya, buat hipotesis untuk mendasari penelitian ini. Hipotesis adalah dugaan sementara atas masalah yang terjadi atau prediksi yang ingin Anda uji.
Contoh hipotesis, misalnya, “Mengganti warna tombol CTA dari biru menjadi merah akan meningkatkan konversi sebanyak 10%.”
Hipotesis perlu Anda buat ketika muncul kendala dalam website. Lalu menggunakan metode A/B testing, Anda akan menemukan, apakah dugaan sementara Anda benar atau keliru.
Memiliki hipotesis akan membuat Anda punya arah yang jelas dan bisa membandingkan hasil nyata dengan ekspektasi awal. Dengan catatan, hipotesis Anda harus logis dan berbasis data yang telah dikumpulkan.
Contoh, Anda ingin menurunkan angka bounce rate di website. Hipotesis awal, “mengatasinya dengan mengganti jenis font akan menurunkan bounce rate.” Kemudian, lakukan pengujian untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut.
A/B testing memakai 2 varian berbeda untuk menentukan varian mana yang memberi hasil lebih baik.
Dalam menerapkan metode ini, Anda perlu memilih variabel spesifik yang akan diuji. Variabel ini bisa berupa judul halaman, warna tombol, gambar, atau salinan teks.
Untuk hasil yang valid, sebaiknya hanya satu variabel diuji dalam satu waktu, sehingga Anda bisa memastikan perubahan yang terjadi benar-benar berasal dari variabel tersebut.
Dalam A/B testing, sebaiknya ada dua versi yang akan dibandingkan: versi kontrol (A) dan versi uji atau pembanding (B).
Misalnya, Anda mau meningkatkan conversion rate menggunakan A/B testing dengan mengubah teks yang ada di tombol CTA, maka 2 versi yang perlu Anda buat, yaitu:
Nah, kedua versi tombol CTA tersebut yang perlu Anda bandingkan dan lihat versi mana yang lebih efektif dalam mencapai tujuan yang Anda inginkan.
Ingat, dalam proses membandingkan ini, lakukan perubahan hanya pada satu elemen saja ya. Jika mau mengubah teks, cukup ubah teksnya saja. Tidak perlu mengubah variabel lain karena bisa mempengaruhi hasil.
Untuk menentukan “pemenang” dalam A/B testing, Anda perlu menetapkan matriks atau Key Performance Indicators (KPIs) yang jelas.
Apakah matriks sukses diukur dari peningkatan konversi, waktu kunjungan, atau interaksi? Penentuan KPI secara spesifik seperti ini akan memudahkan Anda mengevaluasi hasil pengujian.
Contoh: Anda ingin membandingkan dua versi judul, maka tentukan besarnya CTR yang harus dicapai. Ini cara yang efektif untuk menentukan versi judul mana yang akan jadi “pemenang”.
Beberapa tools A/B testing yang bisa memudahkan Anda melakukan pengujian sebenarnya sudah disebutkan di atas ya, seperti memanfaatkan fitur Experiments dari Google Analytics.
Selain itu, Anda juga bisa menggunakan alat uji lainnya, seperti Google Optimize, Optimizely, atau VWO.
Tools ini membantu mengatur eksperimen, memonitor hasil, dan memberikan analisis lengkap mengenai performa setiap varian.
Pilih tools yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran perusahaan Anda untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Waktu memainkan peranan penting dalam metode A/B testing. Jika Anda melakukan A/B testing pada versi A yang dilakukan selama satu bulan.
Kemudian disusul bulan berikutnya dengan versi B, bagaimana Anda bisa tahu kalau hasilnya dipengaruhi oleh perbedaan tampilan dan bukan dipengaruhi oleh waktu?
Kecuali jika A/B testing yang dilakukan memiliki tujuan untuk mengetes waktu, misalnya mencari waktu terbaik untuk memposting unggahan.
Maka agar hasil pengujian lebih akurat, sebaiknya Anda menjalankan pengujian varian A dan B secara bersamaan.
Pengujian yang dilakukan pada waktu yang berbeda dapat menyebabkan bias karena perubahan tren, musim, atau faktor eksternal lainnya.
Sementara kalau menjalankan dua varian bersamaan, Anda bisa memastikan perbandingan hasilnya lebih adil.
Uji coba dua versi dalam metode A/B testing memiliki banyak hubungan dengan kuantitatif, meski tidak bisa dijadikan acuan mengapa audiens lebih memilih varian tertentu dibanding varian yang lain.
Agar hasilnya tetap akurat, survey pelanggan menjadi salah satu cara untuk mengetahui pendapat audiens. Nah, Anda bisa meletakkan form survey dalam bentuk pop-up yang muncul saat audiens akan keluar dari website Anda.
Contoh kasus, banyak orang yang melakukan klik pada CTA yang mengarah pada halaman e-book, namun begitu melihat harga yang tercantum mereka tidak melakukan pembayaran. Informasi yang diperoleh dari feedback bisa Anda gunakan untuk melihat bagian-bagian yang masih kurang.
Meski Anda sudah menentukan durasi waktu penerapan A/B testing, Anda perlu tetap memantaunya secara berkala. Tujuannya untuk melihat apakah progress sudah sesuai.
Kalau misalkan tidak sesuai, Anda bisa mulai menyiapkan variabel lain yang bisa diuji agar tujuan akhir tercapai.
Setelah mendapatkan hasil dari A/B testing, gunakan terus variabel tersebut. Jangan lupa periksa juga variabel lain yang perlu Anda tingkatkan.
Namun jika hasilnya tidak berbeda jauh, maka Anda tidak perlu membuat perubahan karena elemen tersebut tidak memberi perbedaan yang signifikan.
A/B testing menjadi metode yang bisa digunakan untuk menaikkan konversi, angka penjualan termasuk menurunkan jumlah cart abandonment.
Gunakan langkah di atas agar A/B testing yang dilakukan memberi hasil yang akurat.
Bagus lagi kalau Anda bisa melakukan Kombinasi Web Data Analytics dan Data Digital Marketing untuk Pertumbuhan Bisnis yang Lebih Baik.
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC