High season selalu tampak seperti momentum terbaik karena di periode ini antusiasme belanja memuncak, perhatian publik meningkat, dan peluang penjualan terbuka lebar.

High season selalu tampak seperti momentum terbaik karena di periode ini antusiasme belanja memuncak, perhatian publik meningkat, dan peluang penjualan terbuka lebar.
Meski terlihat memberikan keuntungan, ternyata masih banyak brand yang belum berhasil memanfaatkan high season.
Banyak yang justru kehilangan momentum, tenggelam dalam keramaian kompetisi, atau sekadar ikut tanpa strategi yang matang.
Situasi ini semakin kontras ketika brand yang biasanya tampil kuat justru kalah dari brand yang lebih kecil tetapi lebih gesit.
Artinya, high season bukan hanya soal siapa yang paling besar, tetapi siapa yang paling siap dan paling relevan.
Lalu, apa sebenarnya penyebab banyak brand gagal optimal di high season? Berikut penjelasannya.
High season bukan sekadar puncak transaksi konsumen.
High season dinilai sebagai momen ketika brand diuji melalui tiga hal, yaitu:
Bagi brand yang telah mempersiapkan strategi yang matang, high season akan mendorong percepatan revenue.
Namun, bagi brand yang tidak siap, high season bisa menjadi titik jatuh yang mengekspos kelemahan operasional maupun strategi.
Lebih lanjut, ada beberapa penyebab mengapa banyak brand gagal memaksimalkan momentum besar ini.
Di high season, feed media sosial, marketplace, hingga ads dipenuhi promosi yang mirip satu sama lain.
Diskon besar sudah tidak cukup karena semua brand melakukannya.
Brand yang gagal adalah mereka yang tidak punya identitas kuat, tidak menghadirkan angle kreatif yang membedakan mereka dari kompetitor.
Brand yang unggul di kompetisi high season biasanya punya satu hal yang kuat seperti narasi yang relevan, positioning yang konsisten, atau experience yang berbeda.
Mereka tidak sekadar ‘ikut-ikutan memberikan promo, tetapi hadir dengan mengemas tone, cerita, dan pesan yang terarah sesuai identitas brand.
High season selalu memicu perubahan terhadap perilaku konsumen.
Biasanya konsumen akan berbelanja lebih cepat, membandingkan lebih banyak, dan lebih impulsif, tetapi juga lebih sensitif terhadap trust.
Banyak brand gagal karena tetap memakai strategi harian atau basic untuk momentum high season.
Misalnya:
Padahal, di periode seperti ini, konsumen ingin keputusan cepat dan brand harus mampu menjawabnya dengan informasi yang ringkas, relevan, dan meyakinkan.
Salah satu penyebab kegagalan terbesar datang dari hal yang terlihat backstage.
Banyak brand yang optimal secara promosi, tetapi tidak siap secara operasional meliputi stok, CS, hingga pengiriman.
Beberapa kasus yang sering terjadi:
Di high season, ekspektasi konsumen meningkat dan toleransi menurun.
Artinya satu kesalahan kecil dapat langsung merusak trust dan mematikan potensi repeat order.
Brand sering mencoba mengejar momentum, tetapi materi yang mereka keluarkan tidak sinkron dengan vibe seasonal.
Konten akhir tahun yang terlihat terlalu umum; tidak ada storytelling, tidak ada emosi, dan tidak ada momen yang terasa spesial, tidak akan membawa suasana high season.
Padahal buyer akan lebih engage jika konten mampu membangun mood, bukan sekadar menekankan atau highlight promo.
Brand yang gagal biasanya:
Momentum besar membutuhkan hype besar dan konten adalah salah satu trigger terkuatnya.
High season bukan kejutan yang datang tiba-tiba.
Polanya jelas berulang.
Tetapi banyak brand memperlakukannya seperti event baru setiap tahun.
Masalah yang sering muncul:
Akhirnya strategi yang digunakan hanya berdasarkan asumsi, bukan dari interpretasi insight, yang menjadi penyebab brand gagal mengoptimalkan peluang di high season.
Dalam high season, banyak brand ingin tampil paling menarik, tetapi terlalu jauh menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhi.
Fenomena yang sering terjadi yaitu gratis ongkir yang tidak konsisten, diskon yang ternyata penuh syarat, limited stock yang tidak benar-benar limited, atau experience yang tidak sesuai ekspektasi.
Ketika ekspektasi konsumen tinggi tapi tidak dibarengi realita yang memenuhi, trust konsumen langsung menurun.
Impact-nya bukan hanya pada high season itu saja, tapi bisa merusak brand perception jangka panjang.
High season bukan hanya tentang ads.
Di high season, brand membutuhkan strategi yang terkoordinasi secara rapi di antaranya:
Brand yang gagal biasanya mengandalkan satu channel saja, dan keseringan adalah ads.
Padahal, high season adalah momentum di mana semua channel harus bekerja bersama, bukan bekerja sendiri-sendiri.
High season memang membawa peluang besar, tetapi juga memperlihatkan kelemahan brand dengan sangat jelas.
Brand yang gagal bukan karena tidak mampu bersaing, tetapi karena tidak siap menghadapi level ekspektasi yang meningkat di periode ini.
Momentum besar hanya menguntungkan brand yang siap, relevan, dan konsisten.
Sementara sisanya akan tenggelam dalam kebisingan kompetisi di high season.
Jika Anda ingin melihat peluang baru di high season, pahami juga Cara Brand Mengidentifikasi Peluang Baru di High Season
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC

