knowledge
MENU
SEARCH KNOWLEDGE

Mengapa Banyak Brand Gagal di High Season? Ini Penyebabnya!

06 Dec  · 
3 min read
 · 
eye 13  
Digital Marketing

High Season

High season selalu tampak seperti momentum terbaik karena di periode ini antusiasme belanja memuncak, perhatian publik meningkat, dan peluang penjualan terbuka lebar. 

Meski terlihat memberikan keuntungan, ternyata masih banyak brand yang belum berhasil memanfaatkan high season

Banyak yang justru kehilangan momentum, tenggelam dalam keramaian kompetisi, atau sekadar ikut tanpa strategi yang matang.

Situasi ini semakin kontras ketika brand yang biasanya tampil kuat justru kalah dari brand yang lebih kecil tetapi lebih gesit. 

Artinya, high season bukan hanya soal siapa yang paling besar, tetapi siapa yang paling siap dan paling relevan.

Lalu, apa sebenarnya penyebab banyak brand gagal optimal di high season? Berikut penjelasannya.

Hubungan High Season dan Brand

High season bukan sekadar puncak transaksi konsumen

High season dinilai sebagai momen ketika brand diuji melalui tiga hal, yaitu: 

  • Kesiapan menentukan apakah brand sanggup menghadapi lonjakan traffic, demand, dan ekspektasi.
  • Relevansi menentukan apakah brand mampu menyesuaikan pesan dengan mood seasonal yang sedang terjadi.
  • Konsistensi menentukan apakah brand bisa memberikan pengalaman terbaik dari promosi, konten, hingga layanan.

Bagi brand yang telah mempersiapkan strategi yang matang, high season akan mendorong percepatan revenue

Namun, bagi brand yang tidak siap, high season bisa menjadi titik jatuh yang mengekspos kelemahan operasional maupun strategi.

Lebih lanjut, ada beberapa penyebab mengapa banyak brand gagal memaksimalkan momentum besar ini.

1. Tidak Punya Identitas Pembeda Saat Kompetisi Memuncak

Di high season, feed media sosial, marketplace, hingga ads dipenuhi promosi yang mirip satu sama lain. 

Diskon besar sudah tidak cukup karena semua brand melakukannya. 

Brand yang gagal adalah mereka yang tidak punya identitas kuat, tidak menghadirkan angle kreatif yang membedakan mereka dari kompetitor.

Brand yang unggul di kompetisi high season biasanya punya satu hal yang kuat seperti narasi yang relevan, positioning yang konsisten, atau experience yang berbeda. 

Mereka tidak sekadar ‘ikut-ikutan memberikan promo, tetapi hadir dengan mengemas tone, cerita, dan pesan yang terarah sesuai identitas brand.

2. Tidak Memahami Perubahan Perilaku Konsumen di High Season

High season selalu memicu perubahan terhadap perilaku konsumen. 

Biasanya konsumen akan berbelanja lebih cepat, membandingkan lebih banyak, dan lebih impulsif, tetapi juga lebih sensitif terhadap trust.

Banyak brand gagal karena tetap memakai strategi harian atau basic untuk momentum high season.

Misalnya:

  • Konten tidak disesuaikan dengan urgency.
  • Copywriting terlalu generik dan tidak adaptif.
  • CTA kurang direct.
  • Value yang ditawarkan tidak terasa spesial.

Padahal, di periode seperti ini, konsumen ingin keputusan cepat dan brand harus mampu menjawabnya dengan informasi yang ringkas, relevan, dan meyakinkan.

3. Tidak Siap Secara Operasional 

Salah satu penyebab kegagalan terbesar datang dari hal yang terlihat backstage.

Banyak brand yang optimal secara promosi, tetapi tidak siap secara operasional meliputi stok, CS, hingga pengiriman. 

Beberapa kasus yang sering terjadi:

  • Stok habis saat campaign berjalan.
  • Customer service lambat merespons.
  • Pengiriman terlambat karena tidak ada manajemen logistik yang matang.
  • Sistem retensi tidak disiapkan untuk lonjakan pembeli baru.

Di high season, ekspektasi konsumen meningkat dan toleransi menurun.

Artinya satu kesalahan kecil dapat langsung merusak trust dan mematikan potensi repeat order.

4. Tidak Menyiapkan Creative Assets yang Relevan dengan Nuansa High Season

Brand sering mencoba mengejar momentum, tetapi materi yang mereka keluarkan tidak sinkron dengan vibe seasonal

Konten akhir tahun yang terlihat terlalu umum; tidak ada storytelling, tidak ada emosi, dan tidak ada momen yang terasa spesial, tidak akan membawa suasana high season.

Padahal buyer akan lebih engage jika konten mampu membangun mood, bukan sekadar menekankan atau highlight promo.

Brand yang gagal biasanya:

  • Tetap memakai template lama atau biasa.
  • Tidak punya variasi konten khusus seasonal.
  • Tidak menyesuaikan visual dengan konteks campaign.
  • Tidak mempersiapkan konten short, mid, long format secara selaras.

Momentum besar membutuhkan hype besar dan konten adalah salah satu trigger terkuatnya.

5. Kurang Melakukan Evaluasi Performa High Season Sebelumnya

High season bukan kejutan yang datang tiba-tiba. 

Polanya jelas berulang. 

Tetapi banyak brand memperlakukannya seperti event baru setiap tahun.

Masalah yang sering muncul:

  • Tidak ada data benchmarking.
  • Tidak melihat metrik mana yang drop atau naik di high season sebelumnya.
  • Tidak mempelajari produk kategori yang paling dicari.
  • Tidak membaca perilaku audiens seperti kapan mereka paling aktif, konten apa yang paling diklik, dan platform mana yang paling efektif.

Akhirnya strategi yang digunakan hanya berdasarkan asumsi, bukan dari interpretasi insight, yang menjadi penyebab brand gagal mengoptimalkan peluang di high season.

6. Over-Promising tapi Under-Delivering

Dalam high season, banyak brand ingin tampil paling menarik, tetapi terlalu jauh menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhi. 

Fenomena yang sering terjadi yaitu gratis ongkir yang tidak konsisten, diskon yang ternyata penuh syarat, limited stock yang tidak benar-benar limited, atau experience yang tidak sesuai ekspektasi.

Ketika ekspektasi konsumen tinggi tapi tidak dibarengi realita yang memenuhi, trust konsumen langsung menurun. 

Impact-nya bukan hanya pada high season itu saja, tapi bisa merusak brand perception jangka panjang.

7. Tidak Menyiapkan Funnel yang Terintegrasi 

High season bukan hanya tentang ads

Di high season, brand membutuhkan strategi yang terkoordinasi secara rapi di antaranya: 

  • Awareness yang dibangun sebelum peak.
  • Retargeting yang disiapkan dari jauh hari.
  • Konten organic yang memperkuat trust.
  • Email/WA campaign yang diatur berdasarkan segmentasi.
  • Influencer/UGC yang memperluas kredibilitas.
  • Pengalaman checkout yang smooth.

Brand yang gagal biasanya mengandalkan satu channel saja, dan keseringan adalah ads.

Padahal, high season adalah momentum di mana semua channel harus bekerja bersama, bukan bekerja sendiri-sendiri.

High season memang membawa peluang besar, tetapi juga memperlihatkan kelemahan brand dengan sangat jelas. 

Brand yang gagal bukan karena tidak mampu bersaing, tetapi karena tidak siap menghadapi level ekspektasi yang meningkat di periode ini.

Momentum besar hanya menguntungkan brand yang siap, relevan, dan konsisten. 

Sementara sisanya akan tenggelam dalam kebisingan kompetisi di high season.

Jika Anda ingin melihat peluang baru di high season, pahami juga Cara Brand Mengidentifikasi Peluang Baru di High Season

SUBSCRIBE NOW

RELATED TOPICS:

DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU

SUBSCRIBE NEWSLETTER