Key Performance Indicator atau KPI adalah tolok ukur untuk mengetahui tingkat kesuksesan program digital marketing. Dalam merencanakan dan menetapkan KPI, benchmarking atau perbandingan menjadi salah satu metode yang lazim digunakan para marketer.
Key Performance Indicator atau KPI adalah tolok ukur untuk mengetahui tingkat kesuksesan program digital marketing. Dalam merencanakan dan menetapkan KPI, benchmarking atau perbandingan menjadi salah satu metode yang lazim digunakan para marketer.
Biasanya yang digunakan adalah data benchmark industri dan kompetitor. Namun dalam digital marketing, kedua data inilah yang justru harus Anda hindari dalam menetapkan KPI.
Untuk lebih jelasnya, cari tahu cara menetapkan benchmark digital marketing menggunakan data sendiri di artikel ini, yuk.
Benchmarking adalah proses membandingkan kinerja Anda dengan kinerja dari orang lain, bisa dengan kompetitor atau industri secara umum.
Aktivitas benchmarking ini populer sebagai salah satu senjata andalan dalam praktik manajemen bisnis.
Anda bisa mendapatkan insights berharga untuk memperbaiki kinerja, asalkan menggunakan data yang benar dengan metode yang tepat.
Adalah penerapan Balanced Scorecard (BSC) yang mempopulerkan benchmarking ini. Untuk diketahui, balanced scorecard adalah tools strategi manajemen kinerja perusahaan yang diperkenalkan oleh pakar manajemen Robert S. Kaplan dan David P. Norton dari Harvard University.
Balanced Scorecard atau BSC terdiri dari berbagai metrics yang menggunakan metode benchmarking untuk menetapkan KPI dari metrics itu. Termasuk penggunaan data kompetitor dan data industri sebagai benchmark.
Penerapan BSC dalam perusahaan marak dari awal tahun 90-an hingga memasuki milenium baru. Di masa itu belum ada digital marketing. Perusahaan tengah berlomba melakukan standarisasi proses bisnis sebagai bentuk dari Total Quality Management (TQM).
Standarisasi pada saat itu perlu para pebisnis lakukan sebagai prasyarat penerapan sistem teknologi informasi yang mengotomatisasi berjalannya proses bisnis.
Jika ada variasi dalam proses bisnis, sistem teknologi informasi harus dikustomisasi, sehingga terdapat penambahan waktu dan biaya.
Dampak dari standarisasi, proses bisnis menjadi relatif seragam antara satu perusahaan dan perusahaan yang lain walaupun keduanya merupakan kompetitor. Anda bisa melihat contohnya pada industri otomotif.
Dua raksasa otomotif, yaitu Toyota dan General Motors (GM), menerapkan metode yang sama dalam proses produksi. Metodenya dikenal sebagai Assembly Line, hasil pemikiran dari “Bapak Otomotif Dunia” Henry Ford pada tahun 1930-an.
Menggunakan metode assembly Line, proses produksi satu unit mobil bisa dipangkas dari 12 jam menjadi dua jam, dan akhirnya hanya 30 menit saja.
Bagi Toyota dan GM data benchmark sangat berharga untuk mempercepat proses produksi. Misalnya, pabrik Toyota hanya perlu waktu dua jam mengatur ulang mesin stamping pada saat berganti model mobil yang diproduksi. Ini artinya tanda bahaya bagi GM yang membutuhkan waktu delapan jam,
Selain otomotif, industri keuangan dan perbankan yang highly regulated juga melakukan standarisasi proses.
Di kondisi seperti ini, melakukan benchmark menggunakan data kompetitor sebagai basis adalah langkah yang tepat.
Kaplan dalam artikelnya di Harvard Business School Working Knowledge pada 2006, memperingatkan bahwa “Benchmarking berjalan dengan baik ketika proses-proses yang diperbandingkan itu esensinya sama pada berbagai unit, baik internal maupun eksternal.”
Dengan kata lain, benchmarking akan sia-sia jika unit yang diperbandingkan terdiri dari banyak variabel.
Di sinilah letak masalahnya. Ada banyak variabel yang berperan dalam proses-proses di setiap funnel digital marketing.
Coba Anda amati CPM (Cost per Mile -1.000 impression). Metrics CPM umumnya Anda gunakan untuk mengukur efisiensi campaign di seluruh funnel, dari awareness, interest, consideration, hingga conversion.
Nah pertanyaannya sekarang, apa saja variabel yang mempengaruhi CPM?
Faktor pertama adalah seasonality atau musiman. Seperti Anda ketahui, metode pembelian impression dalam platform digital pada umumnya melalui auction (lelang).
Nilai CPM mengikuti hukum pasar dan dipengaruhi supply dan demand.
Pada musim-musim ramai promosi, misalnya Ramadan dan akhir tahun, ada banyak brand yang memperebutkan impressions. Ketika demand semakin besar, sementara supply tetap, harga akan naik.
Pengaturan target audience yang Anda pilih mempengaruhi nilai CPM. Semakin luas (broad) targetnya, semakin banyak audience yang tersedia.
CPM akan lebih kecil pada penargetan yang lebih luas dibandingkan dengan penargetan yang sempit (narrow). Semakin spesifik ceruk audience yang Anda bidik, umumnya CPM juga akan semakin tinggi.
Variabel yang lain adalah CTA (Call-To-Action), produk atau brand yang ditawarkan, visual, frekuensi, dan banyak lagi. Hubspot mengidentifikasi ada 20 variabel yang mempengaruhi kinerja digital marketing.
Metrics yang lain, seperti CPC (Cost Per Click), CPA (Cost Per Acquisition) dan CPL (Cost Per Lead) juga memiliki variabel yang banyak.
Lalu bagaimana dengan data industri untuk benchmarking? Ada banyak data yang tersedia. Mailchimp misalnya, secara berkala mempublikasikan benchmark untuk email marketing yang dikategorisasikan berdasarkan industri.
Benchmark Google Ads berdasarkan segmen industri bisa Anda dapat dari Wordstream. Sementara itu, RivalIQ menyediakan data benchmark industri untuk media sosial Facebook, Instagram dan Twitter.
Persoalan dengan benchmark industri adalah datanya terlalu lebar. Data MailChimp misalnya, dikumpulkan dari sekitar 15 juta basis penggunanya.
Walaupun Anda bisa memisah-misahkan data berdasarkan industrinya, hasilnya masih terlalu lebar untuk memberikan benchmark yang berguna.
Misalkan bisnis Anda adalah ritel yang menjual produk kosmetika, baik melalui toko fisik maupun online. Mungkin Anda akan memilih kategori “Beauty and Personal Care” dari MailChimp sebagai benchmark industri.
Namun bisnis Anda juga bisa masuk dalam dua kategori lain, yakni “Retail” dan “eCommerce.” Peta persaingan dan cara berbisnis di ketiga kategori itu bisa berbeda-beda, sehingga kurang akurat kalau Anda gunakan sebagai benchmark.
Jadi, benchmark dari data industri memang bisa memberikan gambaran secara umum. Namun kurang tepat dijadikan sebagai data benchmark dalam perencanaan strategis.
Jika data industri masih terlalu lebar, bagaimana dengan data kompetitor sebagai benchmark untuk digital marketing? Pada kenyataannya, tidak ada dua perusahaan yang sama persis antara yang satu dan lainnya.
Apalagi jika Anda membandingkan produk dan brand. Setiap brand memiliki diferensiasi USP atau Unique Selling Proposition-nya masing-masing.
USP inilah yang kemudian membentuk Customer Perceived Value yang dibangun melalui berbagai aktivitas komunikasi brand.
Customer Perceived Value adalah nilai dari produk atau jasa yang ada dalam benak calon konsumen. Nilai atau value ini bisa lebih rendah atau lebih tinggi daripada harga jual dari produk dan jasa tersebut.
Konsumen memberikan penilaian berdasarkan fungsinya, harga yang harus dibayar, nilai sosial, dan nilai psikologis.
Nilai sosial adalah persepsi calon konsumen bahwa dengan menggunakan produk atau jasa yang brand sediakan, mereka bisa menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan orang lain.
Sedangkan nilai psikologis berkaitan dengan kemungkinan produk atau jasa membantu konsumen mengekspresikan dirinya atau membuatnya merasa lebih baik.
Aktivitas membangun dan mengkomunikasikan brand melalui digital marketing menjadi upaya meningkatkan Customer Perceived Value. Diferensiasi antara brand Anda dan kompetitor dilakukan melalui digital marketing.
Jadi, value creation dan diferensiasi dalam digital marketing inilah yang menuntun Anda kembali ke pernyataan Kaplan. Benchmarking dari data kompetitor tidak bisa digunakan.
Jadi jalan terbaik adalah dengan melakukan benchmarking pada kinerja digital marketing Anda sendiri.
Cara ini bisa Anda lakukan melalui historical benchmark, yakni mencatat nilai-nilai dari berbagai metrics digital marketing yang Anda terapkan. Dari benchmark inilah, performa digital marketing Anda tingkatkan secara bertahap.
Ada tiga hal yang perlu Anda perhatikan dalam mengumpulkan data historis untuk benchmark dalam digital marketing:
Langkah pertama adalah menetapkan objective dari campaign digital marketing sesuai dengan Customer Journey.
Ada dua objective utama dalam digital marketing, apapun itu industrinya. Kedua objectives tersebut adalah Brand Awareness dan Direct Response.
Brand Awareness adalah digital marketing campaign yang bertujuan untuk memperkenalkan brand dan USP-nya kepada target audience.
Metrics brand awareness, antara lain Reach (jangkauan), Frequency (jumlah paparan per orang), dan Brand Lift (mengukur impact dari campaign terhadap metrics brand). Anda sudah membahas cara mengukur Brand Awareness Campaign pada artikel berjudul: Mengukur Brand Awareness Campaign, Gampang Kok.
Direct Response adalah digital marketing campaign yang bertujuan untuk mendatangkan respons tertentu dari target audience. Respons ini berupa aksi yang Anda kehendaki, misalnya klik, menonton video, atau melakukan pembelian.
Setelah menetapkan objective, tentukan titik konversi (conversion points) yang akan memberikan dampak langsung pada kinerja bisnis. Biasanya conversion points seperti ini adalah touchpoints terjadinya Purchase atau Leads.
Ada juga conversion points yang penting diukur, namun kurang berdampak pada bisnis, seperti kunjungan ke website, registrasi, atau menonton video edukasi.
Langkah kedua, Anda dapat memastikan sudah memasang pelacak (tracker) pada titik-titik konversi. Pasang pelacak pada semua Event.
Dalam digital marketing, Event ini merujuk pada “sebuah kejadian yang Anda pantau,” dalam sebuah kampanye. Contohnya, kejadian di mana pengguna meng-klik tombol Subscribe, Purchase, atau Register.
Kemudian pastikan pula pelacak tersebut akan aktif pada saat terjadinya konversi. Untuk mempercepat prosesnya, sebaiknya Anda berhubungan langsung dengan programmer.
Jika memiliki website baru, proses pemasangan tracker ini sebaiknya Anda lakukan pada saat website sudah live dan stabil.
Facebook Pixel dan Google Tag merupakan dua pelacak yang paling sering digunakan saat ini. Untuk dashboard analitik, sebaiknya Anda menggunakan Facebook Analytics dan Google Analytics sekaligus.
Dengan cara ini Anda memiliki informasi yang lebih menyeluruh tentang jalannya campaign.
Setelah semua terpasang dan Anda mulai mendapatkan data, langkah berikutnya adalah menentukan data point sebagai benchmark.
Hal yang paling penting di sini adalah, angka atau nilai benchmark yang Anda tetapkan harus sesuai dengan Business Plan. Jika tidak, digital marketing tidak akan memberikan ROI atau Return on Investment.
Misalnya, biaya yang harus Anda keluarkan untuk satu penjualan (Cost Per Sales) seharusnya lebih rendah daripada total margin dari total nilai keranjang belanja (Basket Size).
Biaya akuisisi pelanggan harus lebih rendah daripada margin dari nilai pembelian yang pelanggan lakukan dalam periode tertentu. Nah, di sinilah pentingnya menentukan benchmark digital marketing yang sesuai dengan benchmark dalam Business Plan.
Jadi, berhati-hatilah dalam menetapkan benchmark dalam digital marketing, apalagi yang menggunakan data industri dan data kompetitor sebagai basisnya.
Belum tentu data-data itu merepresentasikan value dari bisnis atau brand Anda. Lebih baik menggunakan data sendiri, lalu mengoptimalisasikan performance dari benchmark sendiri. Bagaimana pengalaman Anda? Ingin berkonsultasi lebih lanjut, Anda bisa menghubungi Kontak Redcomm.
Referensi:
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC