Memprediksi dinamika iklim bisnis saat ini semakin sulit. Apalagi setelah krisis pandemi beberapa tahun terakhir, ketidakpastian akan masa depan menjadi semakin besar.
Memprediksi dinamika iklim bisnis saat ini semakin sulit. Apalagi setelah krisis pandemi beberapa tahun terakhir, ketidakpastian akan masa depan menjadi semakin besar.
Untuk itu, perusahaan dengan seluruh elemennya perlu agile (lincah) agar dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi yang ada, serta tetap kompetitif dalam persaingan bisnis yang semakin ketat.
Lalu, bagaimana cara menerapkan agile branding di era digital marketing, yang mana pertukaran informasi sangat cepat dan membuat perilaku konsumen mudah berubah?
Sebelum membahas lebih jauh tentang agile, mari mencari tahu dulu mengapa penerapan agile semakin relevan untuk branding dan marketing.
Dalam buku Brand Relevance: Making the Competitors Irrelevant karya bapak branding, David Aaker, terdapat dua cara berkompetisi, yaitu brand preference dan relevant. Berikut penjelasannya:
Brand preference adalah kemampuan mengerahkan seluruh strategi supaya konsumen lebih memilih brand Anda daripada kompetitor dalam kategori dan subkategori bisnis yang sama.
Akan tetapi, memenangkan kompetisi brand preference ini lebih sulit dan membutuhkan banyak biaya. Karena secanggih apa pun komunikasi marketing, faktanya konsumen tetap kesulitan membedakan keunggulan satu brand dengan brand lainnya.
Solusinya, Anda bisa memberikan functional benefit yang berbeda. Misalnya dengan membuat produk yang berbeda atau membuat harganya lebih murah.
Namun Anda harus berhati-hati, jangan sampai fokus pada brand preference membuat usaha membangun brand relevance terlupakan.
Brand relevance adalah aktivitas membuat kategori brand atau subkategori brand baru yang lebih relevan bagi konsumen atau sesuai kondisi pasar saat ini.
Artinya, konsumen memilih brand Anda karena merasa brand kompetitor sudah tidak relevan lagi di kategori atau subkategori produk yang Anda ciptakan sendiri.
Contoh yang jelas untuk brand relevance bisa Anda lihat pada brand Indomie milik Indofood. Ketika pasar mie instan semakin ramai kompetitornya, Indofood memilih berinovasi. Mereka merilis subkategori (varian) baru Indomie Seblak Hot Jeletot.
Indofood memanfaatkan tren makanan seblak yang banyak disukai anak muda, sehingga brand Indomie menjadi lebih relevan daripada kompetitornya.
Menurut Aaker, membangun brand relevance jauh lebih menyenangkan daripada memenangkan brand preference.
Sebab, Anda tidak akan terjebak dalam perang harga. Namun, untuk membangun brand relevance, Anda membutuhkan strategi branding yang agile.
Brand harus memiliki kemampuan mengendus ke mana “arah angin” akan menuju, dan bisa secepatnya melakukan manuver mengarahkan “kapal” brand ke arah tersebut.
Kemampuan inilah yang selanjutnya bisa Anda baca dalam Agile Marketing pada pembahasan berikutnya.
Tentang agile branding, Anda bisa membaca penjelasan lebih lengkapnya di artikel Redcomm Knowledge berjudul Agile Branding di pasar yang semakin dinamis.
Jika agile branding merujuk pada output (hasil) dari menjadi agile (lincah), maka konteks agile marketing lebih pada proses.
Pengertian agile marketing adalah proses untuk bisa merencanakan, menyusun dan merilis marketing campaign dengan cepat.
Artinya, marketing campaign bisa berjalan “in the moment” sesuai dengan momen konsumen. Berikut kelebihan penerapan agile pada marketing:
Contoh agile marketing bisa Anda lihat dalam pertandingan olahraga. Sebelum pertandingan berlangsung, tentu Anda belum mengetahui pemenangnya.
Nah, Anda bisa menyiapkan dua skenario posting di media sosial untuk masing-masing tim. Dengan cara ini, brand bisa memanfaatkan momen agar lebih relevan bagi target audiens.
Tahun 2001 menjadi awal lahirnya agile dari ranah software development. Kelahiran istilah ini ditandai dengan adanya Agile Manifesto yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.
Sejak kelahirannya 19 tahun silam, agile semakin populer sehingga muncullah berbagai istilah lain, seperti agile business, agile organisation, dan agile HR.
Pada awalnya, penerapan agile dalam bisnis hanya populer di kalangan perusahaan rintisan (startup). Hal ini wajar karena “perahu” startup yang masih kecil itu gampang terombang-ambing dalam lautan iklim bisnis, pasar, dan ekonomi.
Popularitas mindset dan metodologi agile memang tak lepas dari kondisi saat ini. Semakin banyak perusahaan yang mencari cara untuk bisa bergerak lebih cepat, inovatif dan fokus pada pelanggan.
Perusahaan seperti ini memperluas penerapan agile ke luar divisi teknologi informasi (TI), hingga ke seluruh fungsi dalam organisasi. Selain itu, masih banyak manfaat agile bagi bisnis, antara lain:
Agile memberikan ritme dan irama dalam bekerja walau berada di tengah ambiguitas dan ketidakpastian. Selain itu, juga menyediakan pola kerja yang teratur supaya Anda bergerak maju.
Salah satu kegiatan rutin dalam agile adalah daily stand up yang merupakan rapat singkat dalam tim kecil secara berkala untuk mengetahui kondisi terkini (status update). Ritual seperti ini setidaknya memberikan kestabilan dalam situasi yang tak bisa diprediksikan.
Metode agile menjadi cara bagi perusahaan untuk berubah dengan cepat saat ada kondisi tak terduga.
Salah satu metode agile adalah mendekonstruksi pekerjaan, yaitu memecah pekerjaan menjadi beberapa unit tugas kecil supaya pengelolaannya lebih mudah.
Dengan menyelesaikan tugas sedikit demi sedikit, akan lebih mudah melakukan penyesuaian ketika perlu melakukan perubahan.
Agile memberdayakan kapabilitas seluruh anggota tim dan mendorong seluruh anggota dalam tim untuk memiliki kemampuan mengambil keputusan, langsung pada saat yang dibutuhkan. Tidak perlu menunggu izin dari manajer.
Untuk bisa membuat keputusan secara maksimal, perlu ada kreativitas individual yang tinggi. Syarat membangun tim dengan kreativitas maksimal adalah setiap anggotanya harus diberdayakan sebisa mungkin.
Pemberdayaan anggota tim inilah yang menjadi tugas pemimpin. Di dalam agile, peran pemimpin seperti ini dikenal sebagai “servant leadership.”
Tugas servant leader adalah memaparkan visi bersama dan memberikan support kepada anggota tim yang mewujudkan visi itu.
Jadi ketika para anggota mampu membuat keputusan sendiri, tim akan lebih cepat dan tanggap pada perubahan.
11 tahun setelah agile manifesto lahir, para marketer menyadari adanya kemungkinan untuk bisa menerapkan metode dan mindset agile dalam proses pemasaran.
Kemudian pada tahun 2012, sekelompok marketer menghimpun Agile Marketing Manifesto ke dalam sembilan bahasa. Terdapat tujuh values dan 10 prinsip di dalamnya.
Salah satu values yang relevan adalah adaptive and iterative campaigns over Big Bang campaigns yang menunjukkan proses jalannya campaign adalah sesuatu yang linear.
Strategi marketing campaign itu harus adaptif. Mulailah dari strategi skala kecil yang implementasinya lebih cepat.
Dengan cara ini, Anda akan segera mengetahui respons dari target audiens, baik respons positif maupun negatif.
Jika target audiens merespons negatif, segera lakukan perbaikan. Apabila respons dari audience adalah positif, campaign dilanjutkan dengan meningkatkan skala-nya.
Di tahap-tahap awal, proses pengembangan marketing campaign yang sifatnya berulang, berkembang, dan agile ini, tidak selalu berhasil.
Untuk itulah dibutuhkan manuver bahkan berputar balik (pivot) dengan mencoba sesuatu yang sama sekali baru.
Agile marketing manifesto memberikan prinsip dan panduan yang bersifat umum agar proses marketing bisa menjadi agile.
Hanya saja penerapannya tergantung kebutuhan masing-masing organisasi. Berikut cara tim marketing bisa menerapkan agile.
Brand yang menjalankan agile akan menyadari pentingnya kerja sama lintas fungsional dalam organisasi.
Anda bisa menerapkan pendekatan ala newsroom di perusahaan media. Hilangkan sekat-sekat antar bagian, sehingga semua berkumpul dalam satu ruangan untuk memproduksi konten “in the moment.”
Tim marketing memproduksi konten dengan cara baru yang terinspirasi dari cara kerja tim developer (sprint).
Misalnya daily stand up, scrum, piloting, A/B testing, dan lainnya yang memungkinkan tim menghasilkan output lebih cepat.
Memanfaatkan teknologi, seperti penggunaan artificial intelligence (AI) dan analytics tools yang memiliki kemampuan mendeteksi, mengukur dan memprediksi respons target audiens dengan cepat. Dengan cara ini, brand bisa cepat berinovasi dan melakukan pivot.
Itulah cara menerapkan prinsip dan metode agile dalam proses branding maupun marketing. Apakah divisi marketing di perusahaan Anda sudah menerapkannya?
Jika belum, jangan lupa untuk segera menerapkan agile marketing supaya bisa lincah bergerak meskipun dinamika bisnis terus mengalami perubahan.
Dalam menerapkan prinsip dan metode agile, Anda bisa juga berkonsultasi dengan digital marketing agency Jakarta, atau digital agency Indonesia, seperti Redcomm Group. Hubungi saja kami dengan klik: Kontak Redcomm.
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC