MENU
SEARCH KNOWLEDGE

Agile Branding di Pasar yang Semakin Dinamis

25 Dec  · 
5 min read
 · 
eye 59.136  
Digital Campaign

redcomm

Dunia bisnis dan pemasaran itu penuh tantangan dan ketidakpastian. Maka perusahaan yang ingin terus bertahan harus memiliki ketangkasan untuk dapat bergerak lincah di tengah pasar yang selalu cepat berubah.

Inilah yang kemudian memunculkan konsep agile branding. Apa sih agile branding? Kenapa setiap pebisnis dan pemilik perusahaan perlu memahami konsep ini dan mengimplementasikannya dengan baik?

Pentingnya Konsistensi dalam Membangun Brand

Sejatinya, membangun brand atau merek itu perlu konsistensi. Selama puluhan tahun, kita mengenal proses brand development yang alurnya selalu sama. 

Proses dimulai dengan menentukan brand attribute. Kemudian perusahaan harus memperkenalkan atribut merek tersebut secara konsisten kepada target audience melalui berbagai touch points.

Untuk bisa konsisten, Anda perlu melibatkan brand style guide di berbagai situasi, sehingga konsumen di mana pun dapat menerima pesan, visual, dan pengalaman konsumen yang sama.

Banyak brand terkemuka telah berhasil menerapkan metode ini. Beberapa contohnya, seperti:

  • Aqua yang menjadi generic brand untuk air minum dalam kemasan.
  • Indomie menjadi salah satu brand yang cukup dengan mendengar namanya saja sudah membuat kita meneteskan air liur. 
  • McDonald's memiliki brand attribute, yaitu lengkungan berwarna kuning emas, yang telah menciptakan standar ekspektasi terhadap menu khasnya. 

Dari ketiga contoh brand di atas sudah bisa kita lihat bagaimana dedikasi selama bertahun-tahun dalam menjaga konsistensi branding telah membuahkan hasil positif. Namun, pertanyaannya sekarang, apakah metode ini masih relevan dalam situasi saat ini? 

Masihkah Konsistensi Mempertahankan Branding Efektif Saat ini?

Fakta yang tak bisa dipungkiri, perubahan memang terjadi semakin cepat. Dunia bergerak lebih dinamis. Bersamaan dengan teknologi yang terus berkembang, permintaan pasar pun turut mengalami pergantian yang cepat. 

Di saat yang sama, bisnis model baru yang disruptif pun bermunculan, membuat kompetisi pasar semakin ketat. 

Change is the only constant in life,” begitu kata Heraclitus, salah satu filsuf Yunani terkemuka. 

Dinamika ini pada akhirnya ikut mempengaruhi perilaku konsumen dan perubahan perilaku konsumen ini sering kali tidak bisa kita duga sebelumnya. 

Belum lagi kehadiran banyak kompetitor baru dengan model bisnis yang inovatif, bahkan melahirkan kategori baru yang membuat kategori saat ini tidak relevan lagi. 

Bayangkan, bukan hanya satu atau beberapa brand yang bisa kehilangan relevansinya, satu kategori pun bisa mengalaminya.

Contoh Brand yang Kehilangan Relevansi

​​Kisah klasik dari brand yang kehilangan relevansinya akibat perkembangan teknologi adalah Blockbuster. Peristiwa ini terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2000. 

Saat itu, Blockbuster adalah market leader dalam industri video rental. Suatu hari, pendiri Netflix, Reed Hastings, terbang ke Dallas untuk menemui CEO Blockbuster saat itu, John Antioco.

Rencananya, Netflix menawarkan diri untuk mengelola brand Blockbuster secara online. Di sisi lain, Blockbuster memperkenalkan Netflix di seluruh gerainya. 

Pihak Antioco menolak tawaran ini, dan sisanya adalah sejarah. Blockbuster menyatakan diri pailit pada 2010, sedangkan Netflix berkembang menjadi brand penyedia layanan video streaming dengan sistem subscription terbesar di dunia.

Bukan cuma itu. Seluruh kategori bernama video rental ikut punah ditelan model bisnis yang kini dikenal sebagai Subscription Video on Demand (SVOD). Selain Netflix, di kategori ini sekarang hadir juga Amazon Prime, Hulu, Apple TV, HBO Max, dan Disney Plus. 

Tidak hanya teknologi yang bisa menghilangkan brand. Perubahan selera dan gaya hidup konsumen juga bisa membuat brand harus berubah. Arus informasi yang semakin cepat dan dalam genggaman konsumen bisa mengubah persepsi, selera dan gaya hidup.

Contohnya McDonalds, yang sempat dipersepsikan sebagai restoran junk food berbahaya. Hal ini karena semakin banyak konsumen yang menjalankan pola makan sehat dengan lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. McDonald merespons perubahan ini dengan menghadirkan lebih banyak menu sehat seperti salad.

The Threshold Model

Apa yang membuat perubahan berlangsung semakin cepat dan sulit diprediksi? Kita bisa belajar dari kasus Netflix vs Blockbuster di atas. 

Pada awalnya, perubahan preferensi konsumen dari video rental menjadi subscription berlangsung lambat. Namun pada satu titik tertentu, perubahan itu seperti tsunami. Tiba-tiba Blockbuster kehilangan banyak pelanggan, sementara adopsi model Netflix meningkat pesat.

Para ilmuwan network science menamakan fenomena ini sebagai The threshold model of collective behavior. Secara umum berikut ini gambaran bagaimana fenomena ini terjadi.

Untuk setiap ide baru, pasti ada orang-orang yang menolak. Tingkat penolakan ini berbeda-beda untuk setiap orang. Di lain pihak, ada juga orang yang bisa menerima ide baru dengan tingkat yang berbeda-beda. 

Lalu, orang-orang yang tingkat penolakannya rendah adalah mereka yang pertama kali menerima ide baru tersebut. Sering dengan semakin banyaknya orang yang menerima ide baru, mereka yang tingkat penolakannya lebih besar akhirnya ikut bergabung. 

Dalam kondisi yang tepat, peralihan dari penolak menjadi penerima ini akan berlangsung semakin cepat laksana riam. Fenomena inilah yang seringkali luput dari perhatian brand.

Di sinilah pentingnya agile branding. Kamus mengartikan agile sebagai “kemampuan untuk bergerak cepat dengan mudah.” Dengan kata lain, agile berarti “bergerak lincah,” sesuai dengan kondisi medan.

Seperti apa branding yang lincah ini? Untuk mengetahuinya terlebih dahulu kita perlu mengerti bagaimana proses traditional branding dilakukan.

Traditional Branding

Tantangan terbesar dalam traditional branding adalah mewujudkan hal-hal abstrak menjadi nyata. Brand dibangun secara hati-hati ketika perusahaan menentukan atribut-atributnya.

Pada tahap ini, kita mengenal lima Brand Personality yang sering digunakan sebagai personifikasi dari brand tersebut. Kelima persona itu adalah Competent, Sincere, Exciting, Sophisticated dan Tough.

Hasil dari abstraksi yang paling nyata adalah logo. Di sini, logo menjadi simbol dari brand promise yang menunjukkan jati diri. 

Identitas brand, yakni logo dan elemen visual lainnya, juga tertuang dalam kemasan produk, desain produk, marketing collaterals, iklan, website, akun media sosial, dan sebagainya.

Pada traditional branding, salah satu tolok ukur keberhasilan (KPI) seorang brand manager adalah memastikan identitas visual brand tampil selaras di semua touchpoints. Oleh sebab itu, brand style guideline ibarat kitab suci yang harus dijaga kemurniannya.

Brand Positioning dan USP

Penentuan atribut, persona dan logo ada di ranah eksekusi dari brand development. Di ranah strategis, kita mengenalnya dengan istilah Brand Positioning

Secara umum, brand positioning adalah proses memposisikan brand kita di dalam benak dan hati target konsumen.

Nah, komponen penting dalam proses brand positioning adalah menentukan Unique Selling Proposition (USP). Ada tiga prinsip yang menjadi panduan dalam menerapkan konsep USP yang diperkenalkan oleh Rosser Reeves ini, yaitu:

1. USP Harus Jelas

Unique Selling Point (USP) harus Anda nyatakan secara jelas kepada konsumen. Sebagai contoh: “Beli produk ini dan Anda akan mendapatkan manfaat berikut.”

2. Unik & Ada Benefit 

Prinsip kedua dalam menentukan proposisi, Anda harus bisa menjelaskan keunikan dari produk atau layanan bisnis yang Anda tawarkan.

Bersamaan dengan itu, ada pula penjelasan mengenai benefit yang tidak bisa disediakan atau tidak dimiliki oleh kompetitor.

3. Kuat dan Menarik

Terakhir, menentukan Unique Selling Point (USP) haruslah kuat dan menarik sehingga bisa mendorong audiens untuk mengambil tindakan yang diperlukan. 

Bisa dikatakan, USP harus dapat menarik perhatian audiens agar berfokus hanya pada produk dari bisnis yang Anda tawarkan.

Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Positioning: The Battle for Your Mind menjelaskan konsep brand positioning secara detail. 

Pada pembahasan tersebut ada penjelasan bahwa kita perlu mengidentifikasi dan berusaha memenangkan ceruk pemasaran untuk brand, produk atau jasa melalui strategi harga, promosi, distribusi, kemasan, dan kompetisi.

Brand positioning bertujuan menciptakan kesan yang unik di benak konsumen. Dari kesan itu, konsumen lantas mengasosiasikan brand kita sebagai sesuatu yang mereka sangat inginkan. Sesuatu yang berbeda dari brand kompetitor yang ada di pasar.

Agile Branding

Lalu, apa itu agile branding? Pengertian agile branding adalah kemampuan untuk secara cepat menciptakan, menemukan kembali dan memperbaiki brand positioning sesuai dengan perubahan ekosistem di mana brand itu hidup. Ekosistem mencakup dinamika pasar, perilaku konsumen, serta pengaruh faktor-faktor seperti teknologi dan regulasi.

Agile branding juga berarti brand memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai platform yang berbeda, gerakan budaya, dan momen spesial dari konsumen. Ini seperti antitesis dari pendekatan traditional branding yang mengedepankan konsistensi dan stabilitas.

Jadi, apakah konsistensi mempertahankan branding masih relevan dalam situasi pasar saat ini? Jawabannya, agile branding cukup fleksibel untuk tetap relevan di tengah perubahan. Dengan catatan, Anda juga tetap konsisten pada core value dari brand

Branding Journal menyebut agile branding sebagai berikut:

“Merupakan identitas yang lincah karena bisa disesuaikan; beradaptasi dengan berbagai konteks yang berbeda-beda. Ini seperti seseorang yang menyesuaikan diri dengan situasi sosial, misalnya ketika business dinner atau nongkrong bersama teman. Namun pesan inti dari brand tetap sama. Pondasi strategi yang kokoh dengan pesan brand yang unik akan membuat adaptasi identitas brand menjadi lebih mudah.”

Penerapan agile branding bukan hanya tentang menyesuaikan identitas brand, tetapi juga menciptakan budaya perusahaan yang responsif terhadap perubahan. 

Langkah-langkah Menerapkan Agile Branding

1. Analisis Pasar yang Mendalam

Sebelum memulai proses agile branding, langkah pertama yang harus Anda ambil adalah melakukan analisis pasar yang mendalam. 

Mengidentifikasi tren, kebutuhan konsumen, dan strategi pesaing akan memberikan fondasi kuat untuk pengembangan brand yang responsif.

2. Pengembangan Identitas Brand yang Fleksibel

Branding yang responsif membutuhkan identitas yang fleksibel. Pastikan elemen-elemen seperti logo, warna, dan bahasa merepresentasikan nilai inti perusahaan, tetapi tetap dapat disesuaikan dengan perubahan pasar.

3. Penggunaan Alat Analitik

Penggunaan alat analitik secara efektif menjadi kunci keberhasilan agile branding. Dengan memantau data konsumen dan tren pasar, perusahaan Anda dapat mengidentifikasi peluang dan menyesuaikan strategi branding secara cepat.

4. Kolaborasi Antar Tim

Pentingnya kolaborasi antar tim tak terbantahkan dalam metode agile. Tim pemasaran, desain, dan pengembangan, harus bekerja bersama-sama untuk merespons perubahan dengan cepat dan efektif.


Jadi, bagaimana dengan brand Anda? Dengan dinamika pasar yang tak bisa diprediksi seperti saat ini, apakah brand Anda termasuk yang sulit bermanuver? Yuk, diskusikan bagaimana perusahaan Anda ingin membangun branding dengan tim dari digital agency Indonesia, seperti Redcomm Indonesia. Klik saja langsung Kontak Redcomm.

SUBSCRIBE NOW

RELATED TOPICS:

DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU

SUBSCRIBE NEWSLETTER