knowledge
MENU
SEARCH KNOWLEDGE

Iklan Online di Industri e-Commerce Untung atau Tidak? Ini Jawabannya!

25 Jun  · 
2 min read
 · 
eye 14  
Digital Marketing Strategy

Iklan Online E Commerce Untung Atau Tidak

Anda pasti sudah cukup sering membaca berbagai pemberitaan yang menyebutkan kalau pertumbuhan e-commerce di Indonesia terus naik setiap tahunnya.

Tetapi, apakah Anda juga tahu kalau ada lebih dari 40% pelaku bisnis online justru mengalami penurunan profit di tahun 2024?

Bahkan cukup banyak di antara mereka yang mengaku sudah pasang iklan online dan hasilnya malah tidak menguntungkan.

Memang, di tengah perkembangan pesat teknologi digital, industri e-commerce harus menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.

Lalu bagaimana dengan di tahun 2025? Bagaimana mengelola dan memaksimalkan budget marketing, termasuk pasang iklan online untuk industri e-commerce, agar lebih menguntungkan?

5 Tantangan Besar di Industri e-Commerce Saat ini

Apa saja sebenarnya hambatan terbesar yang dihadapi pelaku e-commerce saat ini? Kenapa strategi yang dulu efektif, kini mulai kehilangan daya?

Inilah saatnya Anda menelaah secara kritis lima tantangan utama yang bisa menentukan berhasil atau tidaknya bisnis Anda bertahan dan tumbuh di tahun 2025.

1. Fragmentasi Channel & Perubahan Perilaku Konsumen

Menurut laporan Digital 2025 dari We Are Social, rata-rata orang Indonesia kini menggunakan lebih dari 7 platform digital setiap harinya. 

Di saat yang sama, pengalaman tim Redcomm Group juga melihat fenomena kalau konsumen tidak lagi loyal pada satu jalur konversi saja.

Seseorang bisa mulai mencari produk melalui TikTok, membandingkan harga di Tokopedia atau Shopee, dan akhirnya menyelesaikan pembelian di website brand.

Funnel marketing menjadi tidak linear dan sangat terfragmentasi, membuat biaya per akuisisi (CPA) melonjak signifikan karena setiap touchpoint memerlukan alokasi anggaran tersendiri.

2. Kinerja Iklan Berbayar yang Tidak Lagi Optimal

Data yang berhasil digital marketing agency Indonesia kumpulkan terlihat kalau biaya per klik (CPC) untuk iklan e-commerce naik hingga 18% secara global sepanjang 2024.

Namun sayangnya, tingkat konversi stagnan, dengan rata-rata ROAS turun menjadi 2,4x dari sebelumnya 3,1x pada sektor ritel. Hal ini membuat banyak brand mempertanyakan efektivitas paid ads.

Ditambah lagi, algoritma platform, seperti Meta dan Google Ads, juga semakin mengandalkan sinyal machine learning yang sulit diprediksi tanpa data pengguna yang lengkap.

3. Tantangan dalam First Party Data & Retargeting

Kebijakan iOS14 dari Apple dan penghapusan cookie pihak ketiga oleh Google pada tahun 2025 memperburuk krisis data yang pebisnis dan marketer hadapi. Akibatnya, retargeting menjadi jauh kurang efektif. 

Brand yang tidak memiliki strategi pengumpulan first party data, misalnya melalui strategi CRM atau loyalty program, akan kehilangan kontrol atas customer journey dari bisnis.

4. Persaingan Harga & Diskon yang Tidak Sehat

Saat ini ada banyak konsumen e-commerce Indonesia menyatakan bahwa harga dan promo adalah alasan utama mereka berpindah brand.

Artinya, brand besar yang punya modal kuat jelas lebih mampu memberikan diskon besar-besaran dan menciptakan ekspektasi harga murah di mata konsumen.

Sebaliknya, UKM dan brand emerging setengah mati mengikuti permainan pasar dan seolah “dipaksa bakar uang” demi tetap kompetitif, yang berdampak langsung pada margin profit yang makin tipis.

5. Efektivitas Campaign Sulit Diukur Secara Holistik

Tantangan berikutnya yang pebisnis di industri e-commerce hadapi adalah data silos. Data antara iklan, CRM, marketplace, dan platform website sering tidak terintegrasi.

Di saat yang sama, masih sangat sedikit brand yang mampu menerapkan sistem multi touch attribution secara komprehensif.

Akibatnya, keputusan strategi pemasaran masih banyak bergantung pada insting atau data tidak utuh, bukan insight menyeluruh berbasis data real time dan lintas channel.

Apakah Spend Budget Marketing Masih Menguntungkan?

Jawaban atas pertanyaan ini bukan sekadar ya atau tidak. Tetapi sangat tergantung pada di mana dan bagaimana anggaran tersebut Anda gunakan, termasuk dalam hal pemasangan iklan online jenis apa pun, baik di website maupun di media sosial.

Fakta yang tak bisa dipungkiri, ada lebih dari 50% brand global menyatakan efisiensi marketing spend merupakan prioritas utama untuk memenangkan persaingan di tahun ini.

Brand yang mampu mengalokasikan budget marketing ke strategi yang lebih berkelanjutan dan berbasis data menunjukkan performa jauh lebih baik. Beberapa strategi yang dimaksudkan di sini, di antaranya:

  • SEO dan konten berbasis search intent yang lebih mampu memberikan hasil jangka panjang dengan cost per acquisition (CPA) yang jauh lebih rendah dibanding paid ads.
  • Zero click marketing & edukasi pasar di owned channel, seperti di blog, email, WhatsApp broadcast dapat membantu meningkatkan engagement tanpa biaya besar.
  • Kolaborasi dengan komunitas dan micro influencer.
  • Segmentasi dan personalisasi berbasis first party data memungkinkan retargeting yang lebih relevan dan efisien.
  • Automasi funnel dan CRM untuk mengurangi dependency terhadap iklan berbayar dan memperpanjang lifetime value (LTV) pelanggan.

Dengan tekanan ekonomi global dan fragmentasi channel digital, efektivitas budget marketing di 2025, terutama di industri e-commerce, sangat ditentukan oleh kecerdasan strategi, bukan besarnya nominal.

Anda sebagai pihak atau pemilik brand perlu lebih selektif, agile, dan berbasis data untuk memastikan setiap rupiah bekerja secara optimal.

Yuk, unduh whitepaper Why Most e-Commerce Budgets Fail untuk insight lebih mendalam dan bisa membantu bisnis Anda tidak sekadar bertahan, tetapi juga tumbuh dan kompetitif di tengah era digital yang semakin menantang.

SUBSCRIBE NOW

RELATED TOPICS:

DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU

SUBSCRIBE NEWSLETTER