Pernahkah Anda membayangkan berada di sebuah auditorium paling bergengsi di dunia, mempresentasikan hasil riset bertahun-tahun di hadapan para profesor ahli, sementara di saat yang bersamaan Anda harus menenangkan seorang balita di gendongan Anda?
Pernahkah Anda membayangkan berada di sebuah auditorium paling bergengsi di dunia, mempresentasikan hasil riset bertahun-tahun di hadapan para profesor ahli, sementara di saat yang bersamaan Anda harus menenangkan seorang balita di gendongan Anda?
Bagi sebagian besar orang, itu terdengar mustahil. Namun, bagi Celline Wijaya, momen luar biasa itu adalah puncak dari perjuangannya menaklukkan dua dunia sekaligus: menjadi seorang ibu dan mahasiswa di Harvard Medical School. Kisahnya bukan sekadar tentang gelar, tapi tentang kekuatan, cinta, dan bukti bahwa batas hanyalah ilusi.
Lupakan sejenak citra glamor seorang lulusan Harvard. Di balik foto kelulusan yang membanggakan, ada kisah tentang malam-malam panjang di perpustakaan, pengorbanan, dan kerja tim yang solid.
Bagi Celline, setiap hari adalah seni menyeimbangkan. Waktu dan energinya harus terbagi adil antara buku-buku tebal dan kebutuhan putrinya, Alma. Ia sering kali baru bisa pulang saat jam menunjukkan tengah malam, setelah berjibaku dengan data dan analisis di perpustakaan.
Namun, ia tidak sendirian. Di rumah, sang suami, Dio, mengambil peran sebagai pilar utama. Ia memastikan Alma terurus dengan baik dan memberikan ruang bagi Celline untuk fokus pada studinya. Komunikasi dan kerja sama tanpa henti inilah yang menjadi fondasi keberhasilan mereka. "Kami selalu jelaskan ke Alma kalau mama sedang belajar dan belum selesai," ujar Celline, menunjukkan betapa pentingnya melibatkan anak dalam perjalanan orang tua.
Inilah momen yang mendefinisikan segalanya. Celline ingin suaminya hadir di sidang tesisnya, sebuah momen bersejarah baginya. Konsekuensinya? Tidak ada yang bisa menjaga Alma, jadi sang buah hati harus ikut serta.
Dengan persiapan matang—mulai dari mainan hingga makanan ringan—Celline berharap Alma bisa tenang selama sesi berlangsung. Namun, dunia anak-anak punya agendanya sendiri.
Di tengah suasana tegang saat Celline menjawab pertanyaan tajam dari para penguji, Alma, mungkin karena rindu atau penasaran melihat ibunya di panggung, berlari kecil ke depan. Keheningan auditorium pun pecah.
Tanpa panik, Celline menunjukkan kekuatan seorang ibu. Ia dengan tenang menggendong Alma, menenangkannya, sambil otaknya terus bekerja merangkai jawaban akademis yang cerdas. Momen itu bukan lagi sekadar sidang tesis; itu adalah demonstrasi ketangguhan yang mengundang decak kagum.
Melalui unggahannya di media sosial, Celline tidak bermaksud pamer. Ia ingin membagikan api semangat kepada siapa pun yang merasa impiannya terhalang oleh keadaan, terutama para ibu.
Ia membuktikan bahwa menjadi ibu dan mengejar pendidikan tinggi bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Dengan dukungan yang tepat, manajemen waktu yang baik, dan keberanian, seorang wanita bisa meraih keduanya.
Dari perjalanannya, Celline membagikan beberapa pelajaran berharga:
Kisah Celline Wijaya adalah pengingat indah bahwa di dalam diri setiap ibu, tersimpan kekuatan untuk menggapai bintang, bahkan jika harus sambil menggendong dunia di tangannya.
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC