Dalam persaingan digital yang semakin intens, banyak brand mengalihkan fokus dan prioritas pada akuisisi.

Dalam persaingan digital yang semakin intens, banyak brand mengalihkan fokus dan prioritas pada akuisisi.
Tidak banyak yang sadar, biaya mendapatkan pelanggan baru terus meningkat sementara menjaga pelanggan yang sudah ada jauh lebih efisien.
Namun retensi sering kali tidak menjadi prioritas, sehingga banyak brand akhirnya kehilangan peluang pertumbuhan jangka panjang.
Padahal persepsi terhadap strategi retensi pelanggan ini yang harusnya jadi sorotan utama brand.
Sebelum menentukan strategi retensi pelanggan, brand harus tahu terlebih dahulu alasan kenapa banyak brand gagal membangun retensi pelanggan.
Simak tujuh alasan utama berikut ini!
Brand yang hanya melihat metrik seperti traffic, impressions, atau konversi, cenderung melewatkan tahapan penting setelah transaksi.
Akibatnya, customer journey berhenti tepat saat terjadi penjualan atau transaksi pertama.
Padahal, fase setelah pembelian merupakan momentum terbaik untuk memperkuat hubungan dan memaksimalkan retensi pelanggan.
Kesalahan umum brand yang sering terjadi:
Tanpa adanya rencana berkelanjutan, pelanggan tidak mendapatkan arah atau alasan untuk kembali.
Personalisasi menjadi salah satu faktor utama retensi, namun banyak brand masih melakukannya secara umum.
Artinya pesan yang sama dikirimkan ke seluruh pelanggan tanpa mempertimbangkan perilaku, preferensi, atau riwayat transaksi.
Dampaknya jika brand tetap melakukan kebiasaan ini yaitu:
Selain itu, personalisasi yang lemah menciptakan kesan bahwa brand hanya mengejar penjualan, bukan memberikan nilai.
Hal ini membuat pelanggan sulit membangun hubungan emosional maupun fungsional dengan brand, sehingga retensi pelanggan yang optimal tidak bisa terwujud.
Retensi pelanggan membutuhkan alur komunikasi yang konsisten dan terukur; mulai dari welcome series, edukasi produk, rekomendasi, hingga winback.
Banyak brand mengirimkan pesan secara dadakan tanpa mempertimbangkan tahapan pelanggan dalam lifecycle brand mereka.
Akibatnya, brand kesulitan membangun ritme komunikasi yang mendukung edukasi, engagement, maupun konversi ulang.
Kegagalan yang sering muncul terkait faktor ini meliputi:
Journey yang terstruktur membantu brand memahami kapan harus memberi informasi, kapan harus melakukan intervensi, dan kapan perlu menarik pelanggan kembali.
Banyak brand menganggap loyalitas dapat dibangun melalui poin, cashback, atau diskon.
Padahal pelanggan di era digital sekarang mencari nilai yang lebih dari sekadar insentif finansial.
Faktor yang lebih memengaruhi loyalitas pelanggan jangka panjang di antaranya:
Ketika loyalty program tidak memberikan diferensiasi yang bermakna, nilai brand menurun perlahan yang mengakibatkan pelanggan berpindah ke kompetitor.
Pengalaman setelah pembelian menjadi salah satu faktor terbesar dalam membentuk persepsi pelanggan terhadap brand.
Ketika layanan purna jual kurang responsif atau tidak jelas, pelanggan mudah kehilangan kepercayaan.
Contoh masalah after-sales yang berdampak pada retensi pelanggan:
Ketika masalah kecil tidak ditangani dengan baik, persepsi negatif dapat menyebar lebih cepat dibandingkan pengalaman positif pelanggan.
Churn adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pelanggan yang berhenti menggunakan suatu produk atau layanan, terutama dalam model bisnis berlangganan.
Churn ini tidak terjadi secara tiba-tiba.
Ada indikator yang dapat dipantau, namun banyak brand yang tidak memiliki sistem atau wawasan untuk deteksi dini.
Tanda-tanda awal churn antara lain:
Brand yang tidak memantau data secara rutin akan melewatkan kesempatan melakukan tindakan preventif.
Ketika analisis cohort dan behavior tracking tidak dimanfaatkan, strategi retensi menjadi reaktif, bukan proaktif.
Kesalahan paling mendasar adalah ketika retensi pelanggan dianggap sebagai tugas tim CRM semata.
Padahal keberhasilan retensi dipengaruhi oleh banyak faktor lintas fungsi dalam suatu sistem bisnis.
Pada dasarnya, retensi pelanggan dipengaruhi oleh:
Retensi yang kuat hanya dapat tercapai ketika seluruh tim bekerja dengan tujuan yang sama; memberikan pengalaman terbaik kepada pelanggan.
Tanpa keselarasan internal, strategi retensi pelanggan tidak akan berjalan optimal meskipun menggunakan tools terbaik.
Retensi pelanggan bukan hanya aktivitas pendukung, melainkan fondasi pertumbuhan jangka panjang.
Brand yang mampu mempertahankan pelanggan akan menciptakan efisiensi biaya, meningkatkan lifetime value, dan memperkuat posisi di tengah pasar yang kompetitif.
Dengan memahami dan mengatasi tujuh tantangan di atas, perusahaan dapat membangun retensi pelanggan yang lebih stabil, terukur, dan berkelanjutan.
Jika Anda sudah paham alasan kenapa brand gagal membangun retensi pelanggan, selanjutnya pahami juga 5 Taktik Meningkatkan Retensi Pelanggan Agar Bisnis Makin Jaya
DISCOVER MORE OF WHAT MATTERS TO YOU
RELATED TOPIC

